Adapun yang dinafikan itu
sifat Istighna’ dan sifat Ifthikhor berdiri pada YANG LAIN (makhluk) dengan mengatakan:
laa ilaha dan diisbatkan sifat Istighna’ dan sifat Ifthikhor itu
berdiri pada dzat Allah Ta’ala dengan mengatakan kalimah
Ilallaah
MAKLUMAT DARI BLOG : TEROKAI SUFI, HAKIKAT DAN MAKRIFAT
JUMAAT, 1 APRIL 2011
ILMU TAUHID : MENYELAMI SIFAT 20
SIFAT-SIFAT KETUHANAN
Adapun yang wajib bagi Ketuhanan itu bersifat dengan empat sifat:
1. Sifat Nafsiyah, yaitu Wujud
2. Sifat Salbiyah yaitu, Qidam, Baqa, Mukhalafatuhu lil khawaditsi, Qiyamuhu binafsihi dan Wahdaniat
3. Sifat Ma’ani, yaitu, Qudrat, Iradat, Ilmu, Hayat, Sami’, Bashir dan Kalam
4. Sifat Ma’nawiyah, yaitu Qadirun, Muridun, ‘Alimun, Hayyun, Sami’un, Bashirrun dan Muttaqalimuun
Dibahagi lagi menjadi dua sifat (Pendekatan secara nafi dan isbat)
1.
Sifat Istighna’ yaitu, Wujud, Qidam, Baqa, Mukhalafatuhulilkhawadits,
Qiyamuhu binafsihi, Sami’, Bashir, Kalam, Sami’un, Bashirun dan
Muttaqallimun
2. Sifat Iftikor, yaitu Qudrat, Iradat, Ilmu, Hayat, Kodirun, Muridun, ‘Alimun, Hayyun dan Wahdaniah
BAHAGIAN I: Sifat Nafsiyah:
Wujud, artinya ada,
yang
ada itu dzat Allah Ta’ala, lawannya ‘Adum, artinya tiada yaitu mustahil
tiada diterima oleh aqal sekali-kali dikatakan Allah Ta’ala itu tiada
karena jikalau Allah Ta’ala itu tiada niscaya tiadalah perobahan pada
alam ini. Alam ini jadilah statis (tak ada masa, rasa dll), dan tiadalah
diterima ‘aqal jika semua itu (perobahan) terjadi dengan sendirinya.
Jikalau
alam ini jadi dengan sendirinya niscaya jadilah bersamaan pada suatu
pekerjaan atau berat salah satu maka sekarang alam ini telah nyata
adanya sebagaimana yang kita lihat sekarang ini dan teratur tersusun
segala pekerjaannya maka menerimalah aqal kita wajib adanya Allah Ta’ala
dan mustahil lawannya tiada. Adapun dalilnya yaitu firmannya dalam Al
Qur’an:
Allahu kholiqu kullu syai’in
artinya, Allah Ta’ala jualah yang menjadikan tiap-tiap sesuatu.
Adapun
Wujud itu sifat Nafsiyah ada itulah dirinya hak Ta’ala. Adapun ta’rif
sifat nafsiyah itu: Hiya huwa wala hiya ghoiruku, artinya, sifat inilah
dzat hak Ta’ala, tiada ia lain daripadanya yakni sifat pada lafadz dzat
pada makna
Adapun Hakikat sifat nafsiyah itu : Hiya lhalul
wajibatu lizzati maadaamati azzatu ghoiru mu’alalahi bi’illati, artinya:
hal yang wajib bagi dzat selama ada dzat itu tiada dikarenakan dengan
suatu karena yakni adanya yaitu tiada karena jadi oleh sesuatu dan tiada
Ia terjadi dengan sendirinya dan tiada Ia menjadikan dirinya sendiri
dan tiada Ia berjadi-jadian.
Adapun Wujud itu dikatakan sifat
Nafsiyah karena wujud menunjukkan sebenar-benar dirinya dzat tiada
lainnya dan tiada boleh dipisahkan wujud itu lain daripada dzat seperti
sifat yang lain-lain.
Adapun Wujud itu tiga bahagi:
1.
Wujud Haqiqi, yaitu dzat Allah Ta’ala maka wujud-Nya itu tiada
permulaan dan tiada kesudahan maka wujud itu bersifat Qadimdan Baqa’,
inilah wujud sebenarnya
2. Wujud Mujazi, yaitu dzat segala makhluk
maka wujudnya itu ada permulaan dan ada kesudahan tiada bersifat Qadim
dan Baqa’, sebab wujudnya itu dinamakan wujud Mujazi karena wujudnya itu
bersandarkan Qudrat Iradat Allah Ta’ala
3. Wujud ‘Ardy, yaitu
dzat ‘Arodul wujud maka wujudnya itu ada permulaan dan tiada kesudahan
seperti ruh, syurga, neraka, Arasy, Kursi dan lain-lain
Adapun yang Mawujud selain Allah Ta’ala dua bahagi
1.
Mawujud dalam ‘alam sahadah, yaitu yang di dapat dengan khawas yang
lima seperti langit, bumi, kayu, manusia, binatang dan lain-lain
2.
Mawujud didalam ‘alam ghaib yang tiada didapat dengan khawas yang lima
tetapi didapat dengan nur iman dan Kasaf kepada siapa-siapa yang
dikaruniakan Allah Ta’ala seperti Malaikat, Jin, Syaitan, Nur dan
lain-lain.
Adapun segala yang Mawujud itu lima bahagi:
1. Mawujud pada Zihin yaitu ada pada ‘aqal
2. Mawujud pada Kharij yaitu ada kenyataan bekas
3. Mawujud pada Khayal yaitu seperti bayang-bayang dalam air atau yang didalam mimpi
4. Mawujud pada Dalil yaitu ada pada dalil seperti asap tanda ada api
5. Mawujud pada Ma’rifat yaitu dengan pengenalan yang putus tiada dapat diselingi lagi terus Ia Ma’rifat kepada Allah Ta’ala
Membicarakan Wujud-Nya dengan jalan dalil:
1. Dalil yang didapat dari Khawas yang lima tiada dapat didustakan
2. Dalil yang didapat dari Khabar Mutawatir tiada dapat didustakan
3. Dalil yang didapat daripada ‘Aqal tiada dapat didustakan
4. Dalil yang didapat daripada Rasulullah tiada dapat didustakan
5. Dalil yang didapat daripada firman Allah Ta’ala tiada dapat didustakan
BAHAGIAN II: Sifat Salbiyah
Adapun
hakikat sifat Salbiyah itu: wahiya dallat ‘alallafiy maalaa khaliyqu
billahi ‘aza wajalla, artinya barang yang menunjukkan atas menafikan
apa-apa yang tiada patut dan tiada layak pada dzat, pada sifat dan pada
af’al Allah Ta’ala yaitu lima sifat:
1. QIDAM, artinya Sedia
2. BAQA’ artinya Kekal,
3. MUKHALAFATUHULILKHAWADITS artinya Bersalahan Allah Ta’ala dengan segala yang baharu.
4. QIYAMUHU BINAFSIHI, artinya Berdiri Allah Ta’ala dengan sendiriNya.
5. WAHDANIAH, artinya Esa
1. QIDAM, artinya Sedia
Adapun hakikat Qidam ibarat dari menafikan ada permulaan bagi Wujud-Nya yakni tiada permulaan, lawannya
Hudusy artinya baharu yaitu
mustahil tiada diterima oleh aqal sekali-kali dikatakan Ia baharu
karena jikalau Ia baharu niscaya jadilah Wujud-Nya itu wujud yang harus,
tiadalah Ia wajibal wujud maka sekarang telah terdahulu wajibal wujud
baginya maka menerimalah aqal kita wajib baginya bersifat Qadim dan
mustahil lawannya baharu , adapun dalilnya firmannya dalam Al Qur’an:
huwal awwalu, artinya Ia juga yang awal.
Adapun Qadim nisbah pada nama empat perkara:
a. Qadim Haqiqi, yaitu dzat Allah Ta’ala
b. Qadim Sifati, yaitu sifat Allat Ta’ala
c. Qadim Idofi, yaitu Qadim yang bersandar seperti dahulu bapa daripada anak
d. Qadim Zamani, yaitu masa yang telah lalu sekurang-kurangnnya setahun
2. BAQA’ artinya Kekal
Adapun
hakikat Baqa’ itu ibarat menafikan ada kesudahan bagi Wujud-Nya, yakni
tiada kesudahan, lawannya Fana’ artinya binasa yaitu mustahil tiada
diterima oleh aqal sekali-kali dikatakan Ia binasa, jikalau Ia binasa
jadilah Wujud-Nya itu wujud yang baharu, apabila Ia baharu tiadalah Ia
bersifat Qadim maka sekarang telah terdahulu bagi-Nya wajib bersifat
Qadim maka menerimalah aqal kita wajib bagi-Nya bersifat Baqa dan
mustahil lawannya binasa, adapun dalilnya firman-Nya dalam Al Qur’an:
wayabqo wajhu robbikauzuljalali wal ikrom, artinya kekal dzat Tuhan kamu
yang mempunyai Kebesaran dan Kemuliaan.
Adapun yang Kekal itu dua bahagi:
a. Kekal Haqiqi, yaitu dzat dan sifat Allah Ta’ala
b.
Kekal Ardy, yaitu kekal yang dikekalkan, menerima hukum binasa jikalau
dibinasakan Allah Ta’ala, karena ia sebahagian daripada mumkinun, tetapi
tiada dibinasakan maka kekallah ia, maka kekalnya itu dinamakan kekal
‘Ardy, seperti ruh, arasy, kursi, kalam, lauh mahfudh, surga, neraka,
bidadari dan telaga nabi.
3. MUKHALAFATUHULILKHAWADITSI artinya Bersalahan Allah Ta’ala dengan segala yang baharu
Adapun
Hakikat Mukhalafatuhulilhawadits itu diibaratkan menafikan dzat dan
sifat dan af’al Allah Ta’ala dengan segala sesuatu yang baharu, yakni
tiada bersamaan dengan segala yang baharu,
lawannya Mumassalatuhulilhawadits,
artinya bersamaan dengan segala sesuatu yang baharu. Tiada diterima
oleh aqal dikatakan Allah Ta’ala itu bersamaan dzat-Nya dan sifat-Nya
dan af’al-Nya dengan segala yang baharu, karena jikalau bersamaan dengan
segala yang baharu maka tiadalah Ia bersifat Qadim dan Baqa’, sebab
segala yang baharu menerima hukum binasa, maka sekarang telah terdahulu
wajib bagi Allah Ta’ala bersifat Qadim dan Baqa’, maka menerimalah aqal
kita wajib bagi Allah Ta’ala bersifat mukhalafatuhulilhawadits, dan
mustahil lawannya Mumasalatu lilhawadits,
adapun dalilnya firman-Nya dalam Al Qur’an:
laisa
kamislihi syaiin wa huwassami’ul bashir, artinya tiada seumpama Allah
Ta’ala dengan segala sesuatu dan Ia mendengar dan melihat.
Adapun bersalahan dzat Allah Ta’ala dengan dzat yang baharu
karena dzat Allah Ta’ala bukan jirim atau jisim dan bukan jauhar atau
‘aradh dan tiada dijadikan, tiada bertempat, tiada berjihat, tiada
bermasa atau dikandung masa dan tiada beranak atau diperanakkan.
Bersalahan sifat Allah Ta’ala dengan sifat yang baharu karena sifat Allah Ta’ala Qadim dan
‘Aum takluknya, seperti Sami’ Allah Ta’ala takluk pada segala yang mawujud.
Adapun sifat yang baharu itu tiada ia Qadim dan tiada ‘Aum takluknya, tetapi
takluk pada setengah perkara
jua seperti yang baharu mendengar ia pada yang berhuruf dan bersuara
dan yang tiada berhuruf dan bersuara tiada ia mendengar atau yang jauh
atau yang tersembunyi seperti gerak-gerak yang dalam hati dan begitu jua
sifat-sifat yang lain tiada serupa dengan sifat Allah Ta’ala.
Adapun bersalahan perbuatan Allah Ta’ala dengan perbuatan yang baharu karena perbuatan Allah Ta’ala itu
memberi bekas dan
tiada dengan alat perkakas dan
tiada dengan minta tolong dan
tiada mengambil faedah dan
tiada yang sia-sia.
Adapun perbuatan yang baharu tiada memberi bekas dan dengan alat perkakas atau dengan minta tolong dan mengambil faedah.
4. QIYAMUHU BINAFSIHI, artinya Berdiri Allah Ta’ala dengan sendirinya
Adapun
hakikat Qiyamuhu binafsihi itu ibarat daripada menafikan berkehendak
kepada tempat berdiri dan berkehendak kepada yang menjadikan dia, yakni
tiada berkehendak kepada tempat 'berdiri' dan
tiada berkehendak kepada yang menjadikannya.
Mustahil
tiada diterima oleh aqal sekali-kali dikatakan tiada berdiri dengan
sendiriNya, karena Ia zat bukan sifat, jikalau Ia sifat, maka
berkehendak kepada tempat berdiri karena sifat itu tiada boleh berdiri
dengan sendirinya.
Dan tiada berkehendak kepada yang
menjadikan Ia karena Ia Qadim, jikalau berkehendak Ia kepada yang
menjadikan Dia, maka jadilah Ia baharu, apabila ia baharu tiadalah ia
bersifat Qadim dan Baqa’ dan Mukhalafatuhulilhawadits.
Maka sekarang menerimalah aqal kita, wajib diterima oleh aqal, bagi Allah Ta’ala itu bersifat Qiyamuhubinafsihi dan
mustahil lawannya An-laayakuunu ko’imambinafsihi,
adapun dalilnya firman-Nya dalam Al Qur’an: Innallaha laghniyyun ‘anil
‘alamiin, artinya Allah Ta’ala itu terkaya daripada sekalian alam.
Adapun
segala yang Mawujud menurut berkehendak kepada tempat berdiri dan
berkehendak kepada yang menjadikan dia itu empat bahagi:
a. Tiada berkehendak kepada yang menjadikan Dia dan tiada berkehendak kepada tempat berdiri, yaitu zat Allah Ta’ala
b. Berdiri pada zat Allah Ta’ala dan tiada berkehendak kepada yang menjadikan Dia, yaitu sifat Allah Ta’ala
c. Tiada berkehendak kepada tempat berdiri dan berkehendak kepada yang menjadikan dia yaitu segala jirim yang baharu
d. Berkehendak kepada tempat berdiri dan berkehendak kepada yang menjadikan dia yaitu segala ‘aradh yang baharu
5. WAHDANIAH, artinya Esa
Adapun
hakikat Wahdaniah itu ibarat menafikan kammuttasil (berbilang-bilang
atau bersusun-susun atau berhubung-hubung) dan kammumfasil
(bercerai-cerai banyak yang serupa) pada zat, pada sifat, dan pada
af’al.
Lawannya An-yakunu wahidan, artinya tiada ia esa. Mustahil
tiada diterima oleh akal sekali-kali dikatakan tiada Ia Esa, karena
jikalau tiada Ia Esa tiadalah ada alam ini karena banyak yang memberi
bekas.
Seperti dikatakan ada dua atau tiga tuhan, kata
tuhan yang satu keluarkan matahari dari barat, dan kata tuhan yang satu
lagi keluarkan dari timur, dan kata tuhan yang satu lagi keluarkan dari
utara atau selatan, karena tiga yang memberi bekas. Tentu kalau tuhan
yang satu itu mengeluarkan matahari itu dengan sekehendakknya umpamanya
disebelah barat, tentu pula tuhan yang lain meniadakkannya dan
mengadakan lagi menurut kehendaknya umpamanya disebelah timur atau utara
atau selatan, karena tiga-tiga tuhan itu berkuasa mengadakan dan
meniadakan maka kesudahannya matahari itu tiada keluar.
Maka
sekarang kita lihat dengan mata kepala kita sendiri bagaimana keadaan
atau perjalanan didalam alam ini semuanya teratur dengan baiknya maka
menerimalah aqal kita wajib diterima aqal Wahdaniah bagi Allah Ta’ala
dan mustahil lawannya berbilang-bilang atau bercerai-cerai.
Adapun
dalilnya firman-Nya dalam Al Qur’an: Qul huwallahu ahad, artinya
katakanlah oleh mu (Muhammad) Allah Ta’ala itu Esa, yakni Esa zat dan
Esa sifat dan Esa Af’al.
Adapun
Wahdaniah pada zat menafikan dua perkara:
a.
Menafikan Kammuttasil,
yaitu menafikan berbilang-bilang atau bersusun-susun seperti dikatakan
zat Allah Ta’ala itu berdarah, berdaging dan bertulang urat, atau
dikatakan zat Allah Ta’ala itu kejadian daripada anasir yang empat.
b.
Menafikan Kammumfasil,
yaitu menafikan bercerai-cerai banyak yang sebangsa atau serupa, umpama
dikatakan ada zat yang lain seperti zat Allah Ta’ala yakni tiada
sekali-kali seperti yang demikian itu.
Maka Kammuttasil
dan Kammumfasil itulah yang hendak kita nafikan pada zat Allah Ta’ala,
apabila sudah kita nafikan yang dua perkara ini maka barulah dikatakan
Ahadiyyatuzzat, yakni Esa dzat Allah Ta’ala.
Adapun
Wahdaniah pada sifat menafikan dua perkara:
a.
Menafikan Kammuttasil, yaitu menafikan berbilang-bilang atau
bersusun-susun sifat, seperti dikatakan ada pada Allah Ta’ala dua Qudrat
atau dua Ilmu atau dua Sami’ yakni tiada sekali-kali seperti yang
demikian itu.
b. Menafikan Kammumfasil, yaitu menafikan
bercerai-cerai banyak yang sebangsa atau serupa seperti dikatakan ada
Qudrat yang lain atau Ilmu yang lain seperti Qudrat dan Ilmu Allah
Ta’ala.
Maka Kammuttasil dan Kammumfasil inilah yang
hendak kita nafikan pada sifat Allah Ta’ala, apabila sudah kita nafikan
yang dua itu maka baharulah dikatakan
Ahadiyyatussifat, yakni Esa sifat Allah Ta’ala.
Adapun
Wahdaniah pada af’al menafikan dua perkara:
a.
Menafikan Kammuttasil, yaitu menafikan berhubung atau minta tolong
memperbuat suatu perbuatan, seperti dikatakan Allah Ta’ala jadikan kuat
pada nasi mengenyangkan dan kuat pada air menghilangkan dahaga dan kuat
pada api membakar dan kuat pada tajam memutuskan yakni tiada sekali-kali
seperti yang demikian itu.
b. Menafikan Kammumfasil, yaitu
menafikan bercerai-cerai banyak perbuatan yang memberi bekas, seperti
dikatakan ada perbuatan yang lain memberi bekas seperti perbuatan Allah
Ta’ala, yakni tiada sekali-kali seperti yang demikian itu.
Maka
Kammuttasil dan Kammumfasil inilah yang hendak kita nafikan pada af’al
Allah Ta’ala, apabila sudah kita nafikan yang dua ini maka baharulah
kita dikatakan
Ahadiyyatull af’al, yakni Esa perbuatan Allah Ta’ala.
BAHAGIAN III: Sifat Ma’ani
Adapun
hakikat sifat Ma’ani itu: wahiya kullu sifatu maujudatun qo’imatun
bimaujuudatun aujabat lahu hukman, artinya tiap-tiap sifat yang berdiri
pada yang maujud (wajibalwujud / zat Allah Ta’ala) maka mewajibkan suatu
hukum (yaitu Ma’nawiyah)
Sifat Ma’ani ini maujud pada zihin dan maujud pula pada kharij, ada tujuh perkara:
1. QUDRAT artinya Kuasa, Takluk pada segala mumkinun (
Adapun arti mumkin itu barang yang harus adanya atau tiadanya )
2. IRADAT artinya Menentukan, takluk pada segala mumkinun
3. ILMU artinya Mengetahui, takluk pada segala yang wajib, mustahil dan ja’iz (harus) bagi aqal.
4. HAYAT artinya Hidup, tiada takluk, tetapi syarat bagi aqal kita menerima adanya sifat-sifat yang lain.
5. SAMA’ artinya Mendengar, takluk pada segala yang maujud.
6. BASYAR artinya Melihat, takluk pada segala yang maujud.
7. KALAM artinya Berkata-kata
1. QUDRAT artinya Kuasa
Adapun
hakikat Qudrat itu yaitu satu sifat yang Qadim lagi azali yang sabit
berdiri pada zat Allah Ta’ala, maka dengan Dia mengadakan dan meniadakan
bagi segala mumkin muafakat dengan Iradat-Nya.
Adapun arti mumkin itu barang yang harus adanya atau tiadanya
Adapun
mumkin itu empat bahagi:
a. Mumkin Maujuud ba’dal ‘adum, yaitu mumkin yang pada masa sekarang, dahulu tiada, seperti: langit, bumi dan kita semuanya.
b.
Mumkin Ma’dum ba’dal wujud, yaitu mumkin yang tiada pada masa sekarang
ini dahulunya ada, seperti: nabi Adam as, dan datok-datok nenek kita
yang sudah tiada.
c. Mumkin sayuzad, yaitu mumkin yang akan datang seperti hari kiamat, syurga dan neraka.
d.
Mumkin Ilmu Allah annahu lamyujad, yaitu mumkin yang didalam Ilmu Allah
Ta’ala, tetapi tiada dijadikan seperti hujan emas, Air laut rasanya
manis, dan banyak yang lain lagi.
Lawannya ‘Ujdzun artinya lemah,
yaitu mustahil tiada diterima oleh aqal sekali-kali dikatakan Allah
Ta’ala itu lemah, karena jikalau Ia lemah niscaya tiadalah ada alam ini
karena yang lemah itu tiada dapat memperbuat suatu perbuatan. Maka
sekarang alam ini telah nyata adanya bagaimana yang kita lihat sekarang
ini, maka menerimalah aqal kita wajib diterima aqal, bagi-Nya bersifat
Qudrat dan mustahil lawannya ‘Ujdzun.
Adapun dalilnya
firman-Nya dalam Al Qur’an: wallahu ‘ala kulli sai’in-qodir, artinya
Allah Ta’ala itu berkuasa atas tiap-tiap sesuatu.
Tetaplah dalam
Hakikat Qudrat itu difahami dengan memahami sifat Salbiyah terlebih dahulu untuk menafikan apa-apa yang tiada patut dan tiada layak pada dzat, pada sifat dan pada af’al Allah Ta’ala.
* Qudrat Allah Ta’ala Qadim atau sedia, tiada diawali dengan lemah.
* Qudrat Allah Ta’ala Baqa’ atau Kekal, tiada diakhiri dengan lemah.
* Qudrat Allah Ta’ala itu Mukhalafatuhu lil hawadits, atau bersalahan dengan yang baharu, maha suci dari sekalian misal.
*
Qudrat Allah Ta’ala itu Qo’imumbizzatihi atau berdiri pada zat Allah
Ta’ala, tiada meminta tolong pada sesuatu, dan tiada mengambil faedah.
*
Qudrat Allah Ta’ala itu Wahdaniyah, atau Esa, tiada kamuttassil
(Berhubung/bersusun) dan tiada kamumfasil (tiada bercerai dengan sifat
yang lain).
2. IRODAT artinya Menentukan
Adapun
hakikat Iradat itu satu sifat yang Qadim lagi azali yang sabit berdiri
pada zat Allah Ta’ala maka dengan Dia menentukan sekalian mumkin adanya
atau tiadanya,muafakat dengan Ilmu-Nya.
Adapun Iradat Allah Ta’ala menentukan enam perkara:
a. Menentukan mumkin itu Ada atau tiadanya
b. Menentukan Tempat mumkin itu
c. Menentukan Jihat mumkin itu
d. Menentukan Sifat mumkin itu
e. Menentukan Qadar mumkin itu
f. Menentukan Masa mumkin itu
Lawannya Karahat artinya
tiada menentukan atau tiada berkehendak, yaitu mustahil tiada diterima
oleh aqal sekali-kali dikatakan Allah Ta’ala itu tiada menentukan atau
tiada berkehendak, karena jikalau tiada Ia menentukan atau tiada Ia
berkehendak mengadakan alam ini atau meniadakan alam ini niscaya
tiadalah baharu (Berubah) alam ini maka sekarang alam ini telah nyata
adanya perubahan, ada siang ada malam, ada yang datang ada yang pergi,
seperti yang telah kita lihat dengan mata kepala kita sendiri, maka
menerimalah aqal kita wajib bagi Allah Ta’ala bersifat Iradat dan
mustahil lawannya Karahat.
Adapun dalilnya firman-Nya
dalam Al Qur’an: fa’allu limaa yuriy d’, artinya berbuat Allah Ta’ala
dengan barang yang ditentukan-Nya.
- Adapun Iradat dengan amar dan nahi itu tiada berlazim karena:
- Ada kalanya disuruh tetapi tiada dikehendaki seperti Abu jahal, Abu lahab dan segala pengikutnya.
- Ada kalanya disuruh dan dikehendaki seperti Abu Baqa’r dan segala sahabat yang lain.
- Ada kalanya tiada disuruh dan tiada dikehendaki seperti kafir yang banyak.
- Adakalanya tiada disuruh tetapi dikehendaki seperti mengerjakan yang haram dan makruh seperti Nabi Adam as dan Hawa.
Tetaplah
dalam Hakikat Iradat itu difahami dengan memahami sifat Salbiyah
terlebih dahulu untuk menafikan apa-apa yang tiada patut dan tiada layak
pada dzat, pada sifat dan pada af’al Allah Ta’ala.
- * Iradat Allah Ta’ala Qadim atau sedia, tiada diawali dengan Karahat ( tidak menentukan atau tidak berkehendak).
- * Iradat Allah Ta’ala Baqa’ atau Kekal, tiada diakhiri dengan Karahat.
- * Iradat Allah Ta’ala itu Mukhalafatuhu lil hawadits, atau bersalahan dengan yang baharu, maha suci dari sekalian misal.
- *
Iradat Allah Ta’ala itu Qo’imumbizzatihi atau berdiri pada zat Allah
Ta’ala, tiada meminta tolong pada sesuatu, dan tiada mengambil faedah.
- *
Iradat Allah Ta’ala itu Wahdaniyah, atau Esa, tiada kamuttassil
(Berhubung/bersusun) dan tiada kamumfasil (tiada bercerai dengan sifat
yang lain).
3. ILMU artinya Mengetahui
Adapun
hakikat Ilmu itu yaitu satu sifat yang Qadim lagi azali yang sabit
berdiri pada zat Allah Ta’ala maka dengan Dia Mengetahui pada yang
wajib, pada yang mustahil, dan pada yang harus.
Adapun yang wajib itu zat dan sifatNya, maka mengetahui Ia zatNya dan sifatNya yang Kamalat.
Adapun
yang mustahil itu yaitu yang menyekutui ketuhanannya atau yang
kekurangan baginya maka mengetahui Ia tiada yang menyekutui bagi
ketuhanan-Nya dan yang kekurangan pada-Nya.
Adapun yang
harus itu sekalian alam ini maka mengetahui Ia segala perkara yang ada
pada masa sekarang ini, segala perkara yang sudah tiada dan segala
perkara yang akan diadakan lagi dan tiada terdinding yang dalam Ilmu-Nya
sebesar jarah jua pun, semuanya diketahui-Nya dengan Ilmu-Nya yang
Qadim
Lawannya Jahil, artinya bodoh, yaitu mustahil tiada diterima
oleh aqal sekali-kali dikatakan Ia Jahil atau bodoh karena jikalau ia
Jahil atau bodoh niscaya tiadalah teratur atau tersusun segala pekerjaan
didalam alam ini maka sekarang alam ini telah teratur dan tersusun
dengan baiknya, maka menerimalah aqal kita wajib bagi Allah Ta’ala
bersifat Ilmu dan mustahil lawannya Jahil atau bodoh.
Adapun dalilnya firman-Nya dalam Al Qur’an: wallahu bikulli syai’in ‘alimun, artinya Allah Ta’ala mengetahui tiap-tiap sesuatu.
Tetaplah dalam
Hakikat Ilmu itu difahami dengan memahami sifat Salbiyah terlebih dahulu untuk menafikan apa-apa yang tiada patut dan tiada layak pada dzat, pada sifat dan pada af’al Allah Ta’ala.
- * Ilmu Allah Ta’ala Qadim atau sedia, tiada diawali dengan jahil.
- * Ilmu Allah Ta’ala Baqa’ atau Kekal, tiada diakhiri dengan jahil.
- *
Ilmu Allah Ta’ala itu Mukhalafatuhu lil hawadits, atau bersalahan
dengan yang baharu, maha suci dari sekalian misal, dan tiada terdinding.
- * Ilmu Allah Ta’ala itu Qo’imumbizzatihi atau berdiri pada zat Allah Ta’ala, tiada meminta tolong pada sesuatu.
- *
Ilmu Allah Ta’ala itu Wahdaniyah, atau Esa, tiada kamuttassil
(Berhubung/bersusun) dan tiada kamumfasil (tiada bercerai dengan sifat
yang lain).
4. HAYAT artinya Hidup
Adapun
hakikat Hayat itu satu sifat yang Qadim lagi azali yang sabit berdiri
pada zat Allah Ta’ala, maka dengan Dia zohirlah sifat yang lain-lain.
Lawannya
maut artinya mati, yaitu mustahil tiada diterima oleh aqal sekali-kali
dikatakan Ia mati karena jikalau Ia mati niscaya tiadalah ada sifat yang
lain seperti Qudrat, Iradat dan Ilmu maka menerimalah aqal kita wajib
bagi Allah Ta’ala bersifat hayat dan mustahil lawannya maut.
Adapun dalilnya firman-Nya dalam Al Qur’an: huwal hayyuladzii laa yamuut, artinya Dia yang Hidup yang tiada mati.
Tetaplah dalam
Hakikat Hayat itu difahami dengan memahami sifat Salbiyah terlebih dahulu untuk menafikan apa-apa yang tiada patut dan tiada layak pada dzat, pada sifat dan pada af’al Allah Ta’ala.
- * Hayat Allah Ta’ala Qadim atau sedia, tiada diawali dengan maut.
- * Hayat Allah Ta’ala Baqa’ atau Kekal, tiada diakhiri dengan maut.
- * Hayat Allah Ta’ala itu Mukhalafatuhu lil hawadits, atau bersalahan dengan yang baharu, maha suci dari sekalian misal.
- * Hayat Allah Ta’ala itu Qo’imumbizzatihi atau berdiri pada zat Allah Ta’ala, tiada meminta tolong pada sesuatu.
- *
Hayat Allah Ta’ala itu Wahdaniyah, atau Esa, tiada kamuttassil
(Berhubung/bersusun) dan tiada kamumfasil (tiada bercerai dengan sifat
yang lain)
5. SAMI’ artinya Mendengar
Adapun
hakikat Sami’ itu yaitu satu sifat yang Qadim lagi azali yang sabit
berdiri pada zat Allah Ta’ala, maka dengan Dia mendengar segala yang
mawujud sama ada yang mawujud itu Qadim atau Muhadas.
Adapun
mawujud yang Qadim yaitu dzat dan Sifat-Nya, maka mendengar Ia akan
Kalam-Nya yang tiada berhuruf dan bersuara, dan yang muhadas yaitu
sekalian alam ini maka mendengar Ia akan segala perkara yang ada pada
masa sekarang ini, segala perkara yang sudah tiada dan segala perkara
yang akan diadakan lagi, maka tiada terdinding pendengarannya oleh sebab
jauh atau tersembunyi.
Lawannya Sumum, artinya pekak
atau tuli yaitu mustahil tiada diterima oleh aqal sekali-kali dikatakan
Ia pekak atau tuli karena jikalau Ia pekak atau tuli niscaya tiadalah
dapat Ia memperkenankan seruan makhluk-Nya padahal Menyuruh Ia kepada
sekalian makhluk-Nya dengan meminta seperti firman-Nya dalam Al Qur’an:
ud’uunii astajib lakum, artinya mintalah olehmu kepadaKu niscaya Aku
perkenankan.
Maka menerimalah aqal kita wajib bagi Allah
Ta’ala bersifat Sami’ dan mustahil lawannya Sumum, pekak atau tuli,
adapun dalilnya firman-Nya dalam Al Qur’an: wallahu sami’un ‘alimun,
artinya Allah Ta’ala itu yang mendengar dan yang mengetahui .
Tetaplah dalam
Hakikat Sami’ itu difahami dengan memahami sifat Salbiyah terlebih dahulu untuk menafikan apa-apa yang tiada patut dan tiada layak pada dzat, pada sifat dan pada af’al Allah Ta’ala.
- * Sami’ Allah Ta’ala Qadim atau sedia, tiada diawali dengan pekak.
- * Sami’ Allah Ta’ala Baqa’ atau Kekal, tiada diakhiri dengan pekak.
- *
Sami’ Allah Ta’ala itu Mukhalafatuhu lil hawadits, atau bersalahan
dengan yang baharu, maha suci dari sekalian misal, dan tiada terdinding.
- * Sami’ Allah Ta’ala itu Qo’imumbizzatihi atau berdiri pada zat Allah Ta’ala, tiada meminta tolong pada sesuatu.
- *
Sami’ Allah Ta’ala itu Wahdaniyah, atau Esa, tiada kamuttassil
(Berhubung/bersusun) dan tiada kamumfasil (tiada bercerai dengan sifat
yang lain).
6. BASHIR artinya Melihat
Adapun
hakikat Bashir itu satu sifat yang Qadim lagi azali yang sabit berdiri
pada zat Allah Ta’ala, maka dengan Dia melihat segala yang mawujud sama
ada yang mawujud itu Qadim atau muhadas.
Adapun mawujud yang Qadim
itu dzat dan sifat-Nya, maka melihat Ia akan dzat-Nya yang tiada berupa
dan berwarna dan sifat-Nya yang kamalat.
Adapun mawujud yang
muhadas itu sekalian alam ini maka melihat Ia akan segala perkara yang
ada pada masa sekarang ini, segala perkara yang sudah tiada dan segala
perkara yang lagi akan diadakan.
Tiada terdinding yang pada penglihatan-Nya oleh sebab jauh atau sangat halusnya atau sangat kelamnya.
Lawannya ‘Umyun, artinya buta,
yaitu mustahil tiada diterima oleh aqal sekali-kali dikatakan Ia buta
karena jikalau Ia buta maka jadilah Ia kekurangan. Maka menerimalah aqal
kita wajib bagi Allah Taa’la itu bersifat Bashir dan mustahil lawannya
‘Umyun atau buta
Adapun dalilnya firman-Nya dalam
AlQur’an: wallahu bashirun bimaa ta’maluun, artinya Allah Ta’ala itu
melihat apa yang kamu kerjakan.
Tetaplah dalam
Hakikat Bashir itu difahami dengan memahami sifat Salbiyah terlebih dahulu untuk menafikan apa-apa yang tiada patut dan tiada layak pada dzat, pada sifat dan pada af’al Allah Ta’ala.
- * Bashir Allah Ta’ala Qadim atau sedia, tiada diawali dengan buta.
- * Bashir Allah Ta’ala Baqa’ atau Kekal, tiada diakhiri dengan buta.
- *
Bashir Allah Ta’ala itu Mukhalafatuhu lil hawadits, atau bersalahan
dengan yang baharu, maha suci dari sekalian misal, dan tiada terdinding.
- * Bashir Allah Ta’ala itu Qo’imumbizzatihi atau berdiri pada zat Allah Ta’ala, tiada meminta tolong pada sesuatu.
- *
Bashir Allah Ta’ala itu Wahdaniyah, atau Esa, tiada kamuttassil
(Berhubung/bersusun) dan tiada kamumfasil (tiada bercerai dengan sifat
yang lain).
7. KALAM artinya Berkata-kata
Adapun
hakikat Kalam itu satu sifat yang Qadim lagi azali yang sabit berdiri
pada zat Allah Ta’ala, maka dengan Dia berkata-kata pada yang wajib
seperti firman-Nya: fa’lam annahu laailahaillalah, artinya ketahui oleh
mu bahwasanya tiada tuhan melainkan Allah, dan berkata-kata pada yang
mustahil dengan firman-Nya: laukana fiyhima alihatun illallah
lafasadatu, artinya jikalau ada tuhan yang lain selain daripada Allah
maka binasalah segala-galanya. dan berkata pada yang harus dengan
firman-Nya: wallahu holaqokum wamaa ta’maluun, artinya Allah Ta’ala jua
Yang menjadikan kamu dan barang perbuatan kamu.
Lawannya Bukmum, artinya kelu atau bisu yaitu
mustahil tiada diterima oleh aqal sekali-kali dikatakan Ia bisu atau
kelu karena jikalau Ia bisu atau Kelu tiadalah dapat Ia menyuruh atau
mencegah dan menceritakan segala perkara seperti hari kiamat, syurga,
neraka dan lain-lain. Maka sekarang suruh dan cegah itu ada pada kita
seperti suruh kita sembahyang dan cegah kita berbuat ma’siat. Maka
menerimalah aqal kita wajib bagi Allah Ta’ala itu bersifat Kalam dan
mustahil lawannya bukmum, kelu atau bisu.
Adapun dalilnya
friman-Nya dalam Al Qur’an: wa kallamallaahu muusa taqlimaan, artinya
berkata-kata Allah Ta’ala dengan nabi Musa as dengan sempurna kata.
Adapun
Kalam Allah Ta’ala itu satu sifat jua tiada Ia berbilang tetapi
berbagi-bagi dipandang dari segi perkara yang dikatakan-Nya apabila Ia
menunjukkan kepada suruh maka dinamakan amar seperti suruh sembahyang
dan puasa dan lain-lain, jika Ia menunjukkannya kepada cegah atau
larangan maka dinamakan nahi seperti cegah berjudi., minum arak dan
lain-lain, jika Ia menunjukkan pada cerita dinamakan akhbar, seperti
cerita raja Fir’aun , Namrudz, dan lain-lain. jika Ia menunjukkan pada
khabar gembira dinamakan Wa’ad seperti balas syurga pada orang beriman
dan ta’at dan lian-lain, jika Ia menunjukkan pada khabar menakutkan maka
dinamakan Wa’id, seperti janji balas neraka dan azab bagi orang yang
berbuat maksiat dan kafir.
Tetaplah dalam
Hakikat Kalam itu difahami dengan memahami sifat Salbiyah terlebih dahulu untuk menafikan apa-apa yang tiada patut dan tiada layak pada dzat, pada sifat dan pada af’al Allah Ta’ala.
- * Kalam Allah Ta’ala Qadim atau sedia, tiada diawali dengan kelu.
- * Kalam Allah Ta’ala Baqa’ atau Kekal, tiada diakhiri dengan kelu.
- *
Kalam Allah Ta’ala itu Mukhalafatuhu lil hawadits, atau bersalahan
dengan yang baharu, maha suci dari sekalian misal, tiada terdinding dan
tiada berhuruf atau bersuara.
- * Kalam Allah Ta’ala itu Qo’imumbizzatihi atau berdiri pada zat Allah Ta’ala, tiada meminta tolong pada sesuatu.
- *
Kalam Allah Ta’ala itu Wahdaniyah, atau Esa, tiada kamuttassil
(Berhubung/bersusun) dan tiada kamumfasil (tiada bercerai dengan sifat
yang lain).
BAHAGIAN IV: Sifat Ma’nawiyah
Adapun
hakikat sifat ma’nawiyah itu: hiyal halul wajibatu lidzati madaamati
lidzati mu’allalati bi’illati, artinya hal yang wajib bagi dzat selama
ada dzat itu dikarenakan suatu karena yaitu Ma’ani, umpama
berdiri sifat Qudrat pada dzat maka
baru dinamakan dzat itu Qadirun, artinya Yang Kuasa, Qudrat sifat
Ma’ani, Qadirun sifat Ma’nawiah maka berlazim-lazim antar sifat Ma’ani
dengan sifat Ma’nawiah, tiada boleh bercerai yaitu tujuh sifat pula:
1. QADIRUN, artinya Yang Kuasa, melazimkan Qudrat berdiri pada dzat
2. MURIIDUN, artinya Yang Menentukan maka melazimkan Iradat yang berdiri pada dzat
3. ‘ALIMUN, artinya Yang Mengetahui maka melazimkan ‘Ilmu yang berdiri pada dzat
4. HAYYUN, artinya Yang Hidup melazimkan Hayyat yang berdiri pada dzat
5. SAMI’UN, artinya Yang Mendengar melazimkan Sami’ yang berdiri pada dzat
6. BASIRUN, artinya Yang Melihat melazimkan Basir yang berdiri pada dzat
7. MUTTAKALLIMUN, artinya Yang Berkata-kata melazimkan Kalam yang berdiri pada dzat
BAHAGIAN V: Sifat ISTIGHNA
Artinya sifat Kaya, Hakikat sifat Istighna: mustaghniyun ’angkullu maa siwahu,
artinya Kaya Allah Ta’ala itu daripada tiap-tiap yang lain.
Apabila
dikatakan Kaya Allah Ta’ala daripada tiap-tiap yang lain, maka wajib
bagi-Nya bersifat dengan sebelas (11) sifat, jikalau kurang salah satu
daripada sebelas (11) sifat itu maka tiadalah dapat dikatakan Kaya Allah
Ta’ala daripada tiap-tiap yang lainnya.
Adapun sifat wajib yang 11 itu ialah:
- Wujud,
- Qidam,
- Baqa’,
- Mukhalafatuhu lil khawaditsi,
- Kiyamuhubinafsihi,
- Sami’,
- Basir,
- Kalam,
- Sami’un,
- Basirun dan
- Muttakalimun.
Selain sebelas (11) sifat yang wajib itu ada tiga (3) sifat lagi yang termasuk pada sifat Istighna yaitu:
1. Mahasuci dari pada mengambil faedah pada perbuatan-Nya atau pada hukum-Nya,
lawannya
mengambil faedah, yaitu mustahil tiada diterima oleh aqal sekali-kali
karena jikalau mengambil faedah tiadalah Kaya Ia daripada tiap-tiap yang
lainnya karena lazim diwaktu itu berkehendak Ia pada menghasilkan
hajat-Nya.
2. Tiada wajib Ia menjadikan alam ini. Lawannya
wajib yaitu mustahil tiada diterima oleh aqal sekali-kali karena
jikalau wajib Ia menjadikan alam ini tiadalah Ia Kaya daripada tiap-tiap
yang lainnya, karena lazim diwaktu itu berkehendak Ia kepada yang
menyempurnakan-Nya
* Tambahan oleh penyalin : {{ harus Ia menjadikan alam ini}}
3.
Tiada memberi bekas suatu daripada kainat-Nya {erti: MakhlukNya}
dengan kuatnya.
Lawannya memberi bekas yaitu mustahil tiada diterima oleh aqal
sekali-kali karena jikalau memberi sesuatu daripada kainat-Nya dengan
kuatnya tiadalah Kaya Ia pada tiap-tiap yang lainnya karena lazim
diwaktu itu berkehendak Ia mengadakan sesuatu dengan wasitoh
BAHAGIAN VI: Sifat IFTHIKHOR
Artinya sifat berkehendak: hakikat sifat Ifthikhor: wamuftaqirun ilaihi kullu maa ’adaahu
, artinya berkehendak tiap-tiap yang lainnya kepada-Nya.
Apabila
dikatakan berkehendak tiap-tiap yang lain kepada-Nya maka wajib
bagi-Nya bersifat dengan sembilan (9) sifat, jikalau kurang salah satu
daripada sembilan (9) sifat ini maka tiadalah dapat berkehendak
tiap-tiap yang lainya kepada-Nya,
Adapun sifat wajib yang sembilan (9) itu adalah:
1. Qudrat
2. Iradat
3. Ilmu
4. Hayat
5. Qodirun
6. Muridun
7. ‘Alimun
8. Hayyun
9. Wahdaniah
Selain dari sembilan (9) sifat yang wajib itu ada dua (2) sifat yang termasuk pada sifat Ifthikhor:
1.
Baharu sekalian alam ini. Lawannya Qodim yaitu mustahil tiada diterima
oleh aqal sekali-kali karena jikalau alam ini Qodim tiadalah berkehendak
tiap-tiap yang lainnya kepada-Nya karena lajim ketika itu bersamaan
derejat-Nya
2. Tiada memberi bekas sesuatu daripada
kainatnya {makhlukNya} dengan
tobi’at atau dzatnya.
Lawannya
memberi bekas; yaitu mustahil: tiada diterima oleh aqal sekali-kali
karena jikalau memberi bekas sesuatu daripada kainat dengan tobi’at
niscaya tiadalah berkehendak tiap-tiap yang lain kepada-Nya karena lajim
ketika itu terkaya sesuatu daripadaNya.
Maka sekarang telah nyata pada kita bahwa
duapuluh delapan (28) sifat Istighna dan duapuluh dua (22) sifat Ifthikhar maka jumlahnya jadi limapuluh
(50) ‘akaid yang terkandung didalam kalimah laa ilaha ilallaah,
maka
jadilah makna hakikat laa ilaha ilallaah itu dua: laa mustaghniyun
angkullu maasiwahu, artinya tiada yang kaya dari tiap-tiap yang lainnya
dan wa muftaqirun ilaihi kullu ma’adahu, artinya dan berkehendak
tiap-tiap yang lain kepadaNya.
Ini makna yang pertama maka daripada makna yang dua itu maka jadi empat (4):
1. Wajibal wujud, yaitu yang wajib adanya.
2. Ishiqoqul ibadah, yaitu yang mustahak bagi-Nya ibadah
3. Kholikul ‘alam, yaitu yang menjadikan sekalian alam
4. Maghbudun bihaqqi, yaitu yang disembah dengan sebenar-benarnya.
Ini makna yang kedua maka daripada makna yang empat (4) itu jadi satu (1) yaitu:
Laa ilaha ilallaah, Laa ma’budun ilallah, artinya tiada Tuhan yang disembah dengan sebenarnya melainkan Allah.
Ini makna yang ketiga penghabisan maka jadilah kalimah laa ilaha ilallaah itu menghimpun nafi dan isbat:
Adapun yang dinafikan itu
sifat Istighna’ dan sifat Ifthikhor berdiri pada yang lain dengan mengatakan:
laa ilaha
dan diisbatkan sifat Istighna’ dan sifat Ifthikhor itu
berdiri pada dzat Allah Ta’ala dengan mengatakan kalimah
Ilallaah
Laa = nafi, Ilaha = menafi,
ila = isbat, Allah = meng-isbat
Yang
kedua kalimah laa ilaha ilallaah itu nafi mengandung isbat dan isbat
mengandung nafi sepeti sabda nabi : laa yufarriqubainannafi wal-isbati
wamamfarroqu bainahumaa fahuwa kaafirun, artinya Tiada bercerai antara
nafi dan isbat dan barang siapa menceraikan kafir.
Seperti asap
dengan api. Asap itu bukan api dan asap itu tidak lain daripada api.
Asap tetap asap dan api tetap api: tetapi asap itu menunjukkan ada api
inilah artinya nafi mengandung isbat dan isbat mengandung nafi.
Tiada bercerai dan tiada bersekutu.
Dicatat oleh Wan Adeli di 11:56 PTG
KESIMPULAN ***** Adapun yang dinafikan itu
sifat Istighna’ dan sifat Ifthikhor itu berdiri pada YANG LAIN (selain Allah) dengan mengatakan:
laa ilaha
dan diisbatkan (disabitkan) sifat Istighna’ dan sifat Ifthikhor itu
berdiri pada dzat Allah Ta’ala dengan mengatakan kalimah
Ilallaah
cp from hasnah johan